Pada usia remaja, ditinjau dari aspek
ideas and mental growth, kekritisan dalam merangkum pemikiran-pemikiran
keagamaan mulai muncul, kekritisan yang dimaksud bisa berupa kejenuhan atau
kebosanan dalam mengikuti uraian-uraian yang disampaikan guru Agama di sekolah
apalagi jika metodologi pengajaran yang disampaikan cenderung monoton dan
berbau indoktrinasi. Jadi mereka telah mulai menampilkan respon ketidak sukaan
terhadap materi keagamaan yang dipaketkan di sekolah. Sebenarnya akar
permasalahan yang timbul dari kekurang senangan remaja terhadap paket materi
pelajaran keagamaan di sekolah terletak pada minimnya motivasi untuk mendalami
agama secara lebih intens, yang lebih sederhana lagi ialah pelajaran agama yang
mereka dapat di sekolah kurang memberikan aplikasi dan solusi praktis dalam
keseharian mereka. Apalagi waktu mereka lebih banyak dihabiskan dengan nonton
teve, jalan-jalan ke mall, ngeceng, pacaran dan hal-hal lain meski banyak juga
remaja kita yang melakukan aktifitas positif seperti remaja mesjid,
berwiraswasta atau ikut organisasi eskul sekolah serta mengikuti kursus-kursus
keterampilan.
Jawaban dari permasalahan diatas adalah kembali pada sosok guru agama sebagai
tauladan dan sumber konsentrasi remaja yang menjadi peserta didiknya. Mampukah
ia menjadikan dirinya termasuk masalah materi serta metodologi yang
dipergunakan sebagai referensi utama bagi peserta didiknya yang seluruhnya
remaja itu dalam mengembangkan sikap keberagamaan yang tidak sekedar merasa
memiliki agama (having religion) melainkan sampai kepada pemahaman agama
sebagai comprehensive commitment dan driving integrating motive, yang mengatur
seluruh kehidupan seseorang dan merupakan kebutuhan primer yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Sehingga nantinya remaja-remaja tersebut merasakan ibadah
sebagai perwujudan sikap keberagamaan intrinsik tersebut sama pentingnya atau
malah lebih penting dibanding nonton teve, jalan-jalan, hura-hura dan lain
sebagainya.
Satu hal penting lainnya yang tidak boleh diabaikan oleh para guru Agama di
sekolah ialah materi pelajaran agama yang disampaikan di sekolah hendaknya
selalu diorientasikan pada kepentingan remaja, seorang guru Agama harus bisa
menanamkan keyakinan bahwa apa-apa yang ia sampaikan bukan demi kepentingan sekolah
(kurikulum) atau kepentingan guru Agama melainkan demi kepentingan remaja itu
sendiri. Karenanya pemahaman akan kondisi objektif kejiwaan remaja mutlak
diperlukan oleh para guru Agama di sekolah. Seorang guru Agama harus senantiasa
dekat dan akrab dengan permasalahan remaja yang menjadi peserta didiknya agar
mampu menyelami sisi kejiwaan mereka. Dan materi pelajaran agamapun harus
terkesan akrab dan kemunikatif, sehingga otomatis sistem pengajaran yang
cenderung monolog (satu arah), indoktriner, terkesan sangar (karena hanya
membicarakan halal haram) harus dihindari, untuk kemudian diganti dengan sistem
pengajaran yang lebih menitik beratkan pada penghayatan dan kesadaran dari
dalam diri. Hal ini mungkin saja dilakukan baik dengan mengajak peserta didik
bersama-sama mengadakan ritual peribadatan (dalam rangka penghayatan makna
ibadah) atau mengajak peserta didik terjun langsung ke dalam kehidupan
masyarakat kecil sehingga mereka bisa mengamati langsung dan turut merasakan
penderitaan yang dialami masyarakat marginal tersebut (sebagai upaya menanamkan
rasa solidaritas sosial). Jadi intinya mereka tidak hanya mendengar atau
mengetahui saja melainkan turut dilibatkan dalam permasalahan yang terdapat
dalam materi pengajaran agama di sekolah.
Namun diatas semua itu yang paling
penting adalah keterpaduan unsur keluarga, lingkungan masyarakat, kebijakan
pemerintah disamping sekolah dalam rangka turut menanamkan semangat beragama
yang ideal (intrinsik) di kalangan para remaja. Karena tanpa kerjasama terkait
antar usur-unsur tersebut mustahil akan tercipta generasi muda (remaja) yang
berkualitas.
0 comments:
Posting Komentar
Sopan Berkomentar, Kami Hormat; Anda Tak Sopan, Komentarmu Dihapus